Nikmatilah

Solikhah  / Nikmatilah / Tidak ada / tenaga kerja asing “Brakkkk!” Hembusan angin musim dingin pada siang ini berhasil menghentakkan dengan keras pintu depan lantai kedua rumah kakek. Kaka meraih gagang pintu, membukanya, lalu menyemprotkan cairan pembersih, mengelap seluruh badan jendela kaca yang berjejer rapih memenuhi teras. Nyonya Kelima bersama anak lelakinya yang baru berusia 9 bulan yang … Continue reading “Nikmatilah”

Solikhah  / Nikmatilah / Tidak ada / tenaga kerja asing

“Brakkkk!”

Hembusan angin musim dingin pada siang ini berhasil menghentakkan dengan keras pintu depan lantai kedua rumah kakek. Kaka meraih gagang pintu, membukanya, lalu menyemprotkan cairan pembersih, mengelap seluruh badan jendela kaca yang berjejer rapih memenuhi teras.

Nyonya Kelima bersama anak lelakinya yang baru berusia 9 bulan yang sedang menonton televisi di lantai satu, segera saja menghampiri Kaka. Hembusan angin menyebabkan pintu yang terbuat dari bahan kayu dan kaca tersebut berbalik arah, ketika Kaka hendak membukanya. Hal itu tentu saja memecah keheningan rumah sederhana berlantai dua tersebut. Nyonya Kelima merasa terganggu mendengarkan kegaduhan itu, ia datang menegur Kaka.

“Mengapa kamu menutup pintu dengan sangat keras?” Tanya Nyonya Kelima.

“Tadi saya hendak membuka pintu, tetapi angin berhembus sangat kencang, sehingga menyebabkan pintu berbalik arah dan menimbulkan suara berisik.”
Terang Kaka menceritakan kronologi kejadian penyebab suara bising yang mengganggu waktu santai Nyonya Kelima.

“Kamu itu bekerja di rumah ini, saat majikanmu bicara, kamu hanya boleh bilang baik dan maaf, tidak ada alasan pembelaan apapun, paham!”

Baru seminggu Kaka bekerja merawat seorang Kakek berusia 86 tahun di Luzhu District. Kakek tinggal bersama anak kelimanya. Tuan Kelima memiliki istri seorang wanita yang berasal dari Vietnam. Mereka memiliki seorang anak lelaki yang baru berusia 9 bulan.
Tuan Kelima sangat sibuk. Setiap hari senin-jumat Tuan berangkat kerja pada pukul 5 pagi, sedangkan ia kembali pada pukul 8 malam. Sementara itu, Nyonya kelima tidak bekerja, ia hanya mengasuh anaknya di rumah.

**
Sakit jantung yang sudah delapan tahun diderita Kakek Lin, menyebabkan kondisi fisiknya semakin hari kian menurun. Ketika merasa dingin, lelah, tubuhnya sesekali bisa bergetar dengan kencang. Meskipun Kakek masih bisa berjalan sendiri dengan pelan-pelan, tetapi harus ada seseorang di sampingnya. Mengawasi dan menggandengnya karena tubuh Kakek terkadang mendadak lemas sehingga mudah terjatuh.
Selain menjalani pemeriksaan kesehatan jantung di rumahsakit, Kakek juga masih rutin menjalani pengobatan kesehatan jantungnya di klinik pengobatan tradisional China di Taoyuan City setiap hari sabtu.

Sebelumnya Kakek dirawat oleh Ami, seorang tenaga kerja Indonesia yang baru pertama kali bekerja di Taiwan.
Penurut, salah satu sifat yang selalu menjadi bekal utama seseorang ketika bekerja dan dimanapun ia berada. Selain merawat Kakek, membantu keperluan sehari-hari Kakek, seperti menyiapkan makanan, membantu mandi, membawanya ke dokter, memberinya obat, mengajaknya keluar jalan-jalan, dan membersihkan lingkungan tempat tinggal Kakek. Ami juga mendapatkan tugas dari Nyonya untuk merawat Titi.

Ami menyerah pada keadaan. Pekerjaan yang tiada pernah selesai, sikap majikan yang seringkali membuatnya menangis sebab kurang lancarnya komunikasi keduanya. Sikap belum percaya sepenuhnya kepada Ami dalam memberikan tanggung jawab menjaga Kakek. Memberikan obat-obat saja harus menunggu Nyonya Kelima. Memasak makanan harus sesuai perintah Nyonya Kelima, bertanya kepadanya beberapa menit sebelum waktu memasak tiba. Sementara Nyonya Kelima sendiri memiliki beberapa aktivitas lainnya di luar rumah, seringkali tidak ada di rumah ketika Ami hendak menghadapnya untuk sekedar bertanya, “mau masak sayur apa?”

Kakek yang baik lama-lama bisa geram, amarahnya meluap-luap hingga berujung pengaduan pada Agency. Nasib baik masih berpihak pada Ami, majikan dan Agency masih sudi untuk mencarikan majikan baru untuknya.

***
Kaka menutup buku diary merah muda kepunyaan Ami yang tertinggal bersama beberapa tumpukan majalah berbahasa Indonesia di lemari samping ranjang Kaka. Nafas Kaka memburu, emosinya membakar relungnya. Ia menulusuri setiap kejadian pilu yang sempat Ami utarakan dalam buku hariannya. Kebebasan hak beribadah yang terampas, kebebasan waktu istrirahat yang berkurang, sebab Ami tidak hanya menjaga Kakek yang setiap tidur malamnya 3-4 kali akan bangun untuk pergi buang air kecil, Ami juga menjaga titi, menemaninya bermain hingga malam saat Tuan Kelima pulang kerja.

Usai makan siang, seperti biasanya tugas Kaka adalah membereskan meja makan, mencuci piring, dan membersihkan dapur. Nyonya kelima beranjak dari kursinya sambil membanting mangkok ke lantai.

“Ada apa?” Tanya Kakek menatap menantunya kebingungan.

“Kaka itu berani sekali masak semaunya, tidak bertanya dulu kepadaku” terang Nyonya Kelima kesal.

“Maaf Nyonya, tapi tadi jam 11 pagi Nyonya belum kembali dari pasar, sedangkan Kakek sudah ingin makan”

“Kamu itu disini kerja, segala sesuatunya harus bertanya kepadaku, paham! Kamu tau, Nyonya Kedua, Ketiga, Keempat, dan Keenam, mereka semua tidak menyukaimu, lebih baik kamu bersiap-siap saja ganti majikan lagi”

Kaka terdiam, kesal, bimbang, sedih, adaptasinya gagal. Respon majikannya pada beberapa hari pertama masa kerjanya adalah tidak menyukainya. Mungkin ia kurang ramah, terlalu pendiam, entahlah. Ia gulana saat lingkungannya justru tidak bersahabat. Sepertinya cerita pilu yang Ami rasakan akan menjadi bagian kisahnya juga.

****
Anna tertawa mendengar keluh kesah Kaka. Kaka yang terus memaki sikap buruk majikan terhadapnya, kebencian majikan hingga segala yang ia kerjakan bernilai salah bagi Majikannya. Bibir Kaka semakin mengerut persis ikan koi yang sedang menerima umpan, sahabat baiknya tertawa mendengarkan kisah pilu yang kian mengikis senyumnya.

“Suka dan tidak suka adalah hak setiap orang. Kita tidak bisa memaksakan seseorang untuk menyukai kita, tapi kita bisa terus bersikap baik, bekerja dengan baik, karena itu adalah tugas kita. Seperti apapun sikap majikan, yang penting kita bisa bekerja dengan baik. Sudahlah tak usah sedih, nikmatilah agar hidupmu tentram”

Kaka terdiam, Ia menulusuri setiap poin-poin yang diucapkan sahabatnya, Ia menutup teleponnya setelah sebelumnya mengucapkan terimakasih kepada Anna.
Saling berbagi keluh kesah, saling menyemangati dan saling menasehati adalah salah satu hikmah berkawan.

Sikap humoris Kaka perlahan berhasil meredupkan amarah Kakek yang sewaktu-waktu membuncah memerahkan telinga. Ia sering mengajak Kakek mengobrol, bercanda terhadap berbagai macam topik obrolan. Kegembiraan Kakek terhadap sikap anak-anaknya yang sangat menghormatinya. Tentang ladang sawah milik Kakek di depan rumah yang belum kunjung ditanami padi sebab harus mengantri karena sang pemilik mesin tanam padi yang selalu sibuk menanam di sawah para petani.
Pengalaman bekerja Kaka merawat Kakek di Dayuan County selama 4 tahun memperkaya kosa kata bahasa mandarin Kaka. Disana ia begitu bahagia bekerja diiringi kepercayaan penuh dari majikan, dikelilingi teman-teman yang baik. Namun Kakek menghembuskan nafas terakhirnya sebab sesak nafas yang beliau derita melemahkan fisiknya pada musim dingin desember lalu.

“Cepat solat Ka, biar nanti bisa cepat tidur,” Kakek kini seringkali mengingatkan Kaka untuk solat, setelah semua senyuman ramah Kaka menyertai hari-harinya.

*****
Malam minggu ini Kaka menemani Kakek makan malam di restoran daerah Linkou, acara resepsi pernikahan cucunya Kakek dari anaknya Tuan Kedua. Mereka begitu ramah, menyambut dan menjamu semua tamu undangan yang hadir dengan senyum yang sama. Tuan Kedua duduk di samping Kaka terlihat antusias mengambilkan daging ayam untuk Kaka, sebab sepengetahuannya orang yang beragama Islam tidak makan daging babi, jadi boleh makan daging ayam yang banyak. Kakek tersenyum menikmati makanan mewah tanpa nasi itu. Cuaca malam ini terasa sangat sejuk karena AC-AC bertebaran memenuhi sudut-sudut restoran tersebut.

“Terimakasih Kaka, kamu menjaga Kakek dengan sangat baik, Kakek sering bercerita tentang sikap sabarmu menyikapi emosi Kakek yang kadang membara. Benar, menjaga orangtua adalah dengan kesabaran dan kelembutan juga sikap humoris” Ujar Tuan Kedua menyerahkan sebuah amplop merah kepada Kaka.

Bersikap baik kepada siapapun, termasuk kepada mereka yang tidak menyukai kita. Yakinlah, perlahan mereka pun akan menjadi baik, kalau pun tidak, setidaknya hati kita tidak ikut serta menanam kebencian, hidup kita akan damai.
***TAMAT*****

Taoyuan, April, 29, 2016

ANH ĐIÊN

Dạ Thy / ANH ĐIÊN / 無 / lao động quốc tịch nước ngoài Chít… Chít… Chít… Tạch … Tạch… Tạch…. Sao…Sao có tiếng gì vọng từ bếp lên vậy nhỉ? Tôi vội vàng chay xuống bếp thì … Trời ơi … Anh Điên tay đang cầm một chú chuột nhắt và trên bếp ga anh đang đun … Continue reading “ANH ĐIÊN”

Dạ Thy / ANH ĐIÊN / 無 / lao động quốc tịch nước ngoài

Chít… Chít… Chít… Tạch … Tạch… Tạch…. Sao…Sao có tiếng gì vọng từ bếp lên vậy nhỉ? Tôi vội vàng chay xuống bếp thì … Trời ơi … Anh Điên tay đang cầm một chú chuột nhắt và trên bếp ga anh đang đun nồi nước to tướng, tôi hoảng hốt vội tắt bếp ga, anh giằng tay tôi lại bảo tôi đừng tắt bếp để anh đun nước sôi làm thịt chú chuột nhắt đã bị anh bóp chết máu me đầm đìa. Tôi sợ quá cũng giằng tay anh lại bảo anh tắt bếp ga vì rất nguy hiểm và tôi bảo anh đợi trời sáng rõ đem chú chuột ra đồng đào lỗ chôn chúchuột xuống kẻo vứt lung tung sẽ ô nhiễm môi trường. Nói rồi tôi dỗ anh vào phòng ngủ vì khi đó tôi nhìn đồng hồ mới vừa đúng hai giờ sáng, rất may anh Điên cũng nghe theo sự phán quyết của tôi.

Từ lúc thấy anh Điên bật bếp ga đến giờ tôi lên phòng mà không dám ngủ vì sợ anh Điên lại xuống bếp bật bếp ga thì nguy hiểm lắm. Nằm miên man vừa canh chừng anh Điên tôi vừa nghĩ lại hơn một tháng qua khi nghe cô phụ trách viện dưỡng lão nói có bà cụ nằm viện đã lâu nay bà muốn về thăm gia đình bà muốn tôi cùng về chăm bà trong thời gian bà ở nhà. Vậy là tôi khăn gói theo bà về quê. Về tới nhà tôi bế bà từ trên xe bệnh viện xuống ngồi xe lăn đẩy bà vào nhà, thấy ông đang ngồi ở phòng khách, tôi chào ông mấy lần mà ông vẫn lặng thinh không đáp tôi thấy sờ sợ. Thấy vậy bà nói ông bị điếc cháu phải nói to ông mới nghe được, nghe bà nói vậy tôi cố dồn giọng chào ông thật to như tiếng loa làng phát thanh ông mới nở nụ cười thật đôn hậu gật gật đầu đáp lại tôi, tôi thở phào nhẹ nhõm, lúc đó cảm giác sợ ông dường như đã tan biến trong tôi. Thoáng nhìn vào phòng bên tôi thấy một người đàn ông khoảng chừng năm mươi tuổi đang nép bên cánh cửa lét nhìn bà và tôi. Rồi bà gọi anh ra xách hành lý giúp tôi, tôi cám ơn anh nhưng anh không nói gì mà lẳng lặng đi vào phòng. Thấy cử chỉ của anh khác mọi người nên tôi cũng chẳng dám hỏi anh thêm điều gì nữa.
Cho bà vào phòng ngủ xong tôi bắt đầu vào bếp chuẩn bị bữa ăn trưa vì biết hôm nay bà về nên con gái bà đã mua cá thịt về từ sớm. Lạ thay tôi vừa rán xong con cá để vào bàn ăn quay đi quay lại con cá mất cái đầu, thật vô lý cá tôi đã đậy lồng bàn cẩn thận rồi cơ mà sao mèo lại đến ăn vụng được nhỉ khi lồng bàn vẫn đậy nguyên như cũ?

Cơm nước xong đồ ăn thức uống tôi thu gọn gàng và đậy cẩn thận rồi tôi đi rửa bát, rửa bát xong tôi quay lại định bỏ đồ ăn còn lại vào tủ lạnh thì… Ô hay … Sao đĩa thịt cá lại hết nhẵn nhỉ? Không biết mèo hay chuột mà giỏi vậy cơ chứ khi lồng bàn vẫn đậy ngăn nắp. Tôi băn khoăn lắm vì đồ ăn tôi nấu dự định ăn cả bữa trưa và bữa tối, giờ bữa tối không còn tôi sợ ông bà nghĩ tôi ăn vụng thì xấu hổ lắm, nên tôi quyết định rình bắt cho được con mèo hay chuột mà chuyên ăn vụng đó . Bữa tối tôi thay rán món trứng và để đĩa trứng ngay trên bệ bếp nơi tôi đứng nấu rồi quay sang chuẩn bị nấu món khác thì bỗng tôi nghe tiếng chân thình thịch bước tới, tôi quay lại thì thấy anh Điên tay đang bốc trứng ngốn ngáo bỏ vào miệng, tôi cười nhìn anh để anh khỏi giật mình vì sợ dễ bị nghẹn, chờ anh nuốt hết miếng trứng tôi mới nhẹ nhàng căn dặn anh: “Đợi em nấu xong cả nhà ăn cho vui, và khi ăn phải dùng bát đũa không được dùng tay bốc mất vệ sinh”. Nghe tôi nói anh Điên gật gật đầu tỏ vẻ đồng ý rồi anh nói sáng nay anh đã đem chú Chuột ra đồng đào lỗ chôn chú xuống rồi và tay anh cũng đã rửa sạch. Tôi lại cười khen anh ngoan và giỏi, anh hỏi lại tôi có thật anh ngoan và giỏi không? Tôi nói thật mà, anh cười khì khì và lẩm bẩm gì đó tôi nghe không hiểu. Hình như anh đang vui thì phải?

Tôi đem chuyện anh Điên định làm thịt chuột kể cho bà nghe, bà nói: “Ngày xưa nó ngoan và giỏi lắm, nó đi bộ đội về rồi đi học nghề mở hiệu sữa ô tô xe máy . Rồi một hôm trời đang nắng đổ mưa giông, tai họa ập vào gia đình bà, nó bị tai nạn phải nằm viện thời gian dài nên bây giờ nó mất trí là vậy ” Bà kể đây đây giọng bà nghẹn lại mắt bà chớp chớp, nghe bà kể mà tôi nghẹn đắng lòng thương cho số phận của anh Điên đến thế . Có hôm anh sang nhà bác hàng xóm lùa cả đàn sáu chú chó con về nhốt vào phòng anh ngủ, chó lạ nhà kêu gào inh ỏi, bác hàng xóm chạy sang xỉ xói vào mặt anh: “Đồ thần kinh … Đồ thần kinh mày bắt trộm chó nhà tao tao sẽ báo công an”. Nghe bác nặng lời với anh Điên tôi ra khuyên bác: “Bác đừng chửi anh ấy nữa vì đầu óc anh không còn minh mẫn, cháu sẽ đem chó sang trả bác”.
Bác hàng xóm ra về với vẻ tức giận ra tới ngõ bác còn quay lại chửi: “Đồ thần kinh … Đồ thần kinh …”. Nhìn anh vẻ sợ sệt không nói gì tôi khuyên anh đừng sợ và sau này đừng ăn trộm đồ của người khác rồi tôi cùng anh lùa đàn chó sang trả bác hàng xóm. Nhiều đêm anh hò hét, khóc lóc cười hát um làng để làng xóm phải giật mình vì mất ngủ nên anh thường bị mọi người chửi và gọi anh là thằng thần kinh. Nhưng với tôi dù anh có bị sao đi chăng nữa thì tôi vẫn tôn trọng anh và tôi thường gọi trêu anh là anh Điên, anh lại cười khì khì thật ngộ nghĩnh. Tôi còn nhớ… Nhớ một hôm khi tôi còn bận bón cho bà ăn, bà ăn xong tôi đi ăn cơm thì anh Điên đã đơm hết phần cơm của tôi rồi, tôi định đi pha mỳ thì anh Điên vội vàng đi lấy bát sẻ bát cơm anh đang ăn dỡ nào canh nào cá nào rau nào thịt ướt rườn rượt cho tôi, anh nói: ” Em đừng ăn mỳ phải ăn cơm mới có sức khỏe để chăm bế bà”. Nhưng tôi vẫn chổi khéo là tôi thích ăn mỳ . Tuy không ăn được món cơm “Tổng hợp” của anh nhưng tôi vẫn thấy vui … Vui vì anh Điên vẫn biết nhường cơm cho tôi vì sợ tôi đói, vui vì tình yêu thương giữa con người với con người: “Một miếng khi đói bằng một gói khi no”.

Thấy tôi vẫn ăn mỳ anh Điên chửi tôi: “Anh vẫn đang đói nhường cơm cho em mà em không ăn đổ đi sẽ lãng phí mà em lãng phí vậy sẽ không có ai thèm lấy em làm vợ đâu “Trời đất… Nghe anh Điên chửi mà tôi cười lên sằng sặc, anh Điên chửi sao mà đáng yêu đến thế. Từ hôm nghe tôi khuyên anh Điên không còn ăn vụng và anh cũng không dùng tay bốc đồ ăn nữa, anh gần gũi tôi hơn, nhiều lúc anh nói ” Em rất tốt “, tôi hỏi anh sao anh nói em tốt? Anh đáp ” Vì em nấu ăn ngon còn cho anh ăn no nữa”. Trời ơi nghe anh nói mà tôi buồn vui lẫn lộn, tôi nghĩ bà thì ở viện, ở nhà chỉ có ông và anh Điên, ông thì già yếu lại điếc, anh Điên thì vậy chắc chẳng bao giờ ông và anh Điên có được bữa cơm ngon. Nghĩ vậy lòng tôi quặn thắt thật thương ông và anh Điên.

Khi mới đến đây tôi nghĩ không thể tiếp tục ở lại để chăm bà được nữa vì nhà bà ở trong núi xung quanh cây cối um tùm, nhà lại không có cửa lưới nên muỗi như trấu, muỗi đốt tôi sưng tấy hết người với lại phòng bà lâu ngày không có người thay giặt tôi nằm ngứa đỏ ối toàn thân . Những lúc ngồi gãi ngứa tôi lại nhớ tới tập thơ “Nhật ký trong tù ” của bác Hồ Chí Minh: Đầy mình đỏ tím như hoa gấm Sột soạt luôn tay tựa gãy đàn “Rồi ngày nào tôi cũng phải đem chăn chiếu ra giặt phơi và tôi bảo chị bạn gửi cho tôi chiếc màn để chống muỗi . Với lại một năm trước bà bị bệnh lao phải sống cách ly nên tôi cũng thấy lo sợ, tôi hỏi bà để tôi về viện làm thay người khác đến chăm bà, bà khóc và muốn tôi ở lại chăm bà. Tôi vừa ngồi gãi ngứa vừa tâm sự với bà bỗng đâu đây vọng lại câu hát: Ai cũng chọn việc nhẹ nhàng gian khổ biết nhường phần ai “. Vậy là tôi quyết định ở lại chăm bà, trước những bữa tôi nấu cơm anh Điên lại giúp tôi đốt nhang muỗi .
Và khi ở Việt Nam khi toàn dân toàn ngành y phát động ngày thế giới phòng chống bệnh lao 24_4 vì ba tôi cũng trong ngành y, được ba trau dồi kiến thức và qua lớp tập huấn phòng chống bệnh lao nên tôi đã viết và cùng diễn tiểu phẩm hài : “Cùng nhau phòng chống bệnh lao” với nội dung là mong mọi người đừng xa lánh bệnh lao và bệnh nhân lao phải được điều trị kịp thời, người chăm sóc bệnh nhân phải được trang bị bảo hộ lao động, đồ dùng phải để riêng biệt… Thì bệnh nhân lao sẽ khỏi hẳn và người chăm sóc cũng sẽ không bị lây truyền. Được học hỏi và hiểu biết kiến thức qua cách phòng chống bệnh lao nên tiểu phẩm hài của tôi đã đoạt giải nhất và được đài truyền hình Vietnam VTV1 về quay nhằm tuyên truyền ngày thế giới phòng chống lao. Nên tôi không còn sợ bệnh lao của bà nữa . Nhiều người nói với tôi chăm bà bệnh nặng vậy phải tính thêm lương nhưng tôi không nỡ lòng nào tính thêm lương của ông bà được. Đến ở với nhà bà năm mươi ngày thì mất bốn chín ngày với một ngày ăn rau khoai lang hết luộc đến xào, tôi thật thương cho cái đám rau khoai lang ông mới trồng vừa mọc mũi mà ngày nào cũng bị ông đem dao ra cắt về ăn. Thật may hôm tôi đến đây tôi có xách thêm chai nước mắm Vietnam và cũng thật buồn cười ông bà và anh Điên cũng thích ăn nước mắm Vietnam mới lạ chứ.
Đến đây sống cùng ông bà tôi mới biết hoàn cảnh ông bà thật khó khăn, bà bị trúng gió hơn chục năm nay không đi lại được phải ở viện dưỡng lão, ông thì ốm yếu lại điếc, anh Điên thì thế, anh cả đã có gia đình ra ở riêng thỉnh thoảng anh mới về thăm ông bà nhưng nay anh cũng bị bệnh trầm cảm, về nhà anh ngồi bất động xem tivi đợi tôi nấu cơm anh ăn xong rồi anh đi lúc nào cũng không ai hay biết.
Mọi chi tiêu trong gia đình chỉ nhìn vào người con gái, khoảng nửa tháng chị mới về một lần mua đồ cho ông bà và anh Điên. Biết điều kiện ông bà vậy tôi cũng thương cảm không đòi hỏi có gì ăn ấy với lại nhà bà ở tận trên núi cao không tiện đi mua đồ mà.
Rồi ngày nghỉ của bà cũng hết, tôi cùng bà lại khăn gói lên đàng. Trước ngày đến viện bà mở hộp đồ trang sức tặng tôi một cặp vòng tay và một dây hột xoàn đeo cổ, tôi không dám nhận, bà nói : “Đây là cặp vòng con gái bà đi chùa mua tặng bà, giờ bà tặng lại cháu đeo để bình an”.
Tôi thật cảm động khi nhận tình cảm của bà gửi vào kỷ vật tặng tôi nên tôi muốn cùng bà chụp tấm hình lưu niệm lúc bà đang trao đồ trang sức cho tôi và ý tôi cũng phòng nếu có ai nghi ngờ tôi trộm đồ của bà thì tôi vẫn còn hình ảnh làm tang chứng vật chứng .
Tạm biệt ông và Điên tôi đến viện, anh Điên đến kéo hành lý của tôi lại không cho bà và tôi đi, tôi phải nói khéo rằng bà phải đến viện để điều trị bệnh ở nhà không có bác sỹ sẽ nguy hiểm đến tính mạng của bà, nghe tôi nói vậy anh Điên mới chịu để tôi và bà đi nhưng anh còn dặn: “Em đi nhanh về nấu cơm anh ăn nhé “. Tôi chỉ gật gật đầu mà chẳng nói được chi.

Xe bệnh viện đã rời xa tôi quay lại nhìn vẫn thấy anh Điên và ông đứng trông theo mà lòng tôi đau nhói.
Ở viện thỉnh thoảng tôi lại điện về hỏi thăm ông và anh Điên, nhiều hôm anh Điên nghe máy tôi lại được nghe anh chửi: “Anh nhường cơm cho em, em không ăn đổ đi trong khi anh vẫn đói, em lãng phí vậy sẽ không có ai thèm lấy em làm vợ đâu”. Sao bị anh Điên chửi mà tôi vẫn vui và thích nghe mới lạ chứ.

Tuy tôi ở với ông bà và anh Điên thời gian không dài, ông bà không giàu sang phú quý như bao gia đình khác nhưng tôi cảm thấy sao ấm nồng tình người đến thế.
Tôi cầu mong sao cho bà chóng khỏi bệnh, ông và anh Điên bình an mạnh khỏe, để rồi một ngày bà sẽ được trở về với mái ấm gia đình nơi đó có ông và anh Điên đang từng giờ từng phút chờ bà.
Bà nhất định… Nhất định sẽ khỏi bệnh để trở về với mái ấm tình thương bà nhé!

Secercah harapan di negeri formosa

Ane juliane / Secercah harapan di negeri formosa / Tidak ada / tenaga kerja asing “An, wo yao niau-niau” teriak kakek membuyarkan lamunanku. Aku beranjak dari tempat duduk ku dan membawa pispot untuknya. Perkenalkan nama ku ane, usiaku….25 tahun, dan ini adalah usia dimana seorang wanita sudah siap siaga menjadi ibu rumah tangga 😄 namun aku, malu??? Bagaimana … Continue reading “Secercah harapan di negeri formosa”

Ane juliane / Secercah harapan di negeri formosa / Tidak ada / tenaga kerja asing

“An, wo yao niau-niau” teriak kakek membuyarkan lamunanku. Aku beranjak dari tempat duduk ku dan membawa pispot untuknya.
Perkenalkan nama ku ane, usiaku….25 tahun, dan ini adalah usia dimana seorang wanita sudah siap siaga menjadi ibu rumah tangga 😄 namun aku, malu??? Bagaimana tidak, di saat teman” ku yg lain sudah menikah bahkan ada yg sudah memiliki 2 orang anak. Tapi aku masih sibuk bekerja di negara orang.
Dan yaa, ini adalah pekerjaan ku. Merawat seorang kakek lansia berusia 86 tahun. Sudah hampir 7 tahun aku menghabiskan waktu di negara ini, negara yg memberi ku pengalaman berharga, tentang waktu. Dan disini pula aku tau, bagaimana rasanya berjuang dan di perjuangkan (ah maaf ini berlebihan) 😄
Dan aku bersyukur kakek ku di beri kesehatan hingga aku bisa merawat nya sampai sekarang.
“kriiiinggg” dering handphone ku berbunyi saat aku membenarkan posisi bantal kakek ku. Ku lirik di layar handphone ku “one message received from bapak” aku hanya tersenyum kecil. Setelah selesai mengurus kakek ku, aku beranjak mengambil handphone ku. “Nduk, lagi apa? Tadi siang mas Agung putra nya bapak mantri tetangga desa kesini. Dia bilang dia mau…….” belum selesai ku baca aku sudah tertawa. Ah, bapak ku ini. Dan tiba-tiba aku teringat beberapa tahun yg lalu. Saat aku baru lulus SMA. Saat itu aku berlari sambil membawa surat tanda kelulusan ku. Sesampainya di ambang pintu “buuuukkk, ibuk..” teriak ku panjang memanggil ibu.
“sopan banget to nduk cah ayuu, masuk rumah mbok ya salam dulu” ibuku yg keluar dari dapur dengan memakai daster kesayangan. Lalu aku berjalan mundur pelan sambil cengengesan “assalamualaikum buk, hihihi” di sambut dengan senyum ibuku pula.
“walaikumsalam. Ada apa kok teriak-teriak” ibu menghampiri dan duduk di ruang tamu, lalu aku duduk di samping nya.
“aku lulus buk,” ujarku tersenyum di sertai mata yang berbinar.
“NEM -nya lumayan tinggi loh buk, kalo di rata-rata bisa dapet 8,5” sambungku.
“alhamdulillah,” ibu merangkul dan mengelus elus kepala ku.
“oh iya buk, besok pagi kata temenku ada seleksi ujian bidik misi. Aku boleh ikut buk??”
Ibu memandang ku dengan tatapan kosong.
“buk, gimana?? Ibu takut ga ada biaya buat kuliah ya??” aku memicingkan mata sambil menarik nafas panjang.
“nah itu kamu tau nduk, emang kamu beneran mau kuliah? Ga kasian sama ibu sama bapak juga? Bapak mu udah tua nduk, adikmu juga masih kecil. Dia juga butuh biaya banyak. Lagian kamu perempuan, sekolah tinggi ujung-ujungnya juga di dapur” seketika itu aku langsung lemas.
Aku masih menimbang kata-kata ibu ku barusan. Ada benarnya juga, perempuan mau sekolah tinggi namun ujung-ujungnya harus melayani suami.
“yaudah kalo ibuk ga kuat biayain ane kuliah. Ane paham kok, besok ane coba langsung nyari kerja deh”
Ibuku meneteskan airmata.
“maafin ibu ya nduk, ga bisa sekolahin kamu tinggi” lalu ibu memeluk ku.
“gak apa-apa buk,” jawabku tersenyum.

Esoknya…
Baru pertama kali aku menulis surat lamaran. Aku mencoba melamar pekerjaan sebagai sales promotion girl di salah satu mall di kota ku. Di hari itu pula aku langsung ikut interview, dan aku lolos. Dengan sepeda motor matic ku, aku pulang dengan perasaan bangga.
Aku beritahukan kepada ibu, bahwa aku sudah mulai bekerja besok pagi. Hari demi hari ku lewati, dan aku baru tau rasanya mencari uang seperti apa. Lalu apa yg aku sesalkan selama ini, saat ibu harus bangun di pagi hari menyiapkan dagangan untuk di titipkan di warung warung sekolah. Dan hasilnya… Siapa lagi kalau bukan buat biaya ku sekolah. Ayah…laki-laki yang paling ku sayang di dunia ini, beliau pensiunan pegawai negeri sipil sejak aku kelas 1 SMA. Oleh sebab itu, perekonomian keluarga kami sedikit kurang semenjak ayah pensiun. Dan ibu harus berjualan nasi bungkus dan gorengan di setiap harinya.

2 bulan sudah aku bekerja sebagai SPG, namun ada sesuatu hal yg mengganjal. Apa aku harus menekuni pekerjaan ku ini, dimana pengeluaran lebih besar di banding gaji yg ku dapat. Atau aku yang kurang bersyukur?

Saat itu aku pulang kerja, dan ibu menghampiri ku di kamar.
“nduk, ada yg pengen ibu bicarakan.” ibu duduk di samping ku.
“apa buk??” aku menatap wajah ibuku, yg sudah mulai ada kerutan kecil di wajahnya.
“jadi gini, tadi siang ada tamu datang. Namanya pak baharudin. Beliau bilang, mau jadiin kamu mantunya nduk” ibu mengucapkannya dengan hati-hati. Mungkin takut aku tersinggung.
“trus ibu jawab apa?” aku memicingkan mata.
“ya ibu jawab terserah kamu to nduk, tak bilangin nduk.. Pak baharudin itu orang terkenal di kampung nya, dia itu kaya nduk, sawahnya aja berapa hektare. Anaknya yg mau di jadiin suami buat kamu itu juga pengusaha nduk, wes to pokok ga bakal nyesel kalau seandainya kamu nikah sama dia” ibu menjelaskan dengan panjang lebar.
“yang kaya kan bapaknya to buk, lagian aku masih belum siap buk buat nikah. Wong baru lulus sekolah kok mau nikah, apa kata teman-temanku nanti buk”
Aku menolak.
“halah, kok mikir umur. Ibu mu ini lo pas masih seusia mu udah punya anak kakakmu” ibu masih tak mau kalah.
“la itu kan dulu buk, apa ibu ga mau liat aku sukses punya uang sendiri” jawabku
Lalu ibu setengah berfikir ” oalah nduk, kamu kerja disini cuma cukup buat biaya sehari hari. Beda kalau udah punya suami, kamu mau apa aja pasti keturutan”
Dan tiba-tiba aku teringat dengan cerita temanku yang kakaknya bekerja di luar negeri dan ia pulang dengan membawa kesuksesan.
“gimana kalau aku keluar negeri buk, jadi TKW gitu??” ujarku pada ibu.
Ibu terbelalak kaget. “serius kamu nduk, kamu kan masih kecil. Masa mau ke luar negeri?”
“daripada aku nikah di usia muda buk, mending aku kerja buat ibuk, buat bapak, buat adik juga” Aku berusaha meyakinkan ibuku.

Dan akhirnya ibu mengiyakan permintaan ku.
Selama 3 bulan aku berada di PT. Lalu bagaimana dengan usia? usia ku waktu itu masih 18 tahun. Sebenarnya minimal usia untuk masuk ke Taiwan adalah 21 tahun. Namun, itu adalah keinginan ku sendiri. Dan aku meminta orang PT untuk memalsukan identitas ku.
Dan akhirnya… Ya, aku sekarang bernafas di negara ini. Negara yang memberi ku banyak pengalaman. Di antaranya, kesabaran itu yang pasti dan paling utama. Rindu, rindu ayah dan ibu ku. Namun aku masih harus tetap berjuang untuk mereka. Karna tujuan utama ku bekerja adalah untuk mereka. Selama 3 tahun aku menyisihkan gaji untuk membuka usaha. Agar ada peningkatan ekonomi di keluarga kami. Alhamdulillah aku finish kontrak yang pertama. Sepulang dari Taiwan, aku berencana untuk menikah. Aku mengenal seorang laki-laki dari dunia maya. Laki-laki yang bekerja di negeri ginseng korea. Hampir setahun lebih aku menjalin hubungan dengan dia. Dan tentu saja, kami hanya berhubungan lewat dunia maya. Video call tentunya. Lelaki yg selalu menemani ku di setiap malam nya seusai aku lelah bekerja seharian.
Namun apa yang terjadi, sesampainya di Indonesia, aku mendapat kabar dari dia sendiri. Bahwa ternyata selama ini dia telah membohongi ku. Dia sudah berkeluarga, betapa hancur hatiku. Aku tak tau harus bagaimana, lalu aku berfikir untuk pergi ke Taiwan lagi. Sebenarnya ibu melarang ku , beliau meminta ku untuk di rumah saja merawat mereka yang sudah mulai menua. Tapi, aku masih tak terima atas apa yang aku alami.
“nduk, anaknya pak mantan lurah lagi nyari calon buat pendamping hidupnya. Kamu mau?” ibu dengan secara tiba-tiba membuyarkan lamunan ku.
“aku masih pengen kerja di Taiwan buk, besok aku harus ke PT untuk proses lagi. Buk, aku bisa nyari pendamping hidup sendiri buk. Tanpa ibu harus menjodohkan aku dengan siapapun. Aku kan cantik persis seperti ibu, jadi jangan khawatir kalau aku ga laku ya buk” jawabku sambil memeluk ibuku.

“kalau itu mau kamu, ibu bisa apa nduk? Ibu cuma bisa mendoakan yg terbaik buat kamu. Asal kamu ga macem-macem selama disana”
Dan aku menganggukan kepala tanda setuju.

Proses kedua di Taiwan di mulai, by the way… Aku sudah pakai identitas asli ku lo, aku sudah berusia 22 tahun. Dan aku minta balik majikan. Karena majikan ku ini sangat baik. Sehingga tak ada rasa ragu untuk ku.
Hari-hari ku lalui bersama kakek yg ku rawat. Lelah, kesal dan yang pasti selalu ada perasaan ingin menyerah. Namun, aku masih memikirkan masa depan ku dan adikku kelak.
Bagaimana pun itu, aku akan selalu ingat tujuan awalku datang kesini. Dan yang pasti untuk senyum kedua orang tua ku.
Masalah jodoh? Ayolah, jangan takut untuk tidak kebagian. Allah sudah menuliskan jodoh, rejeki, dan umur kita. Jadi tak perlu ragu kapan aku akan duduk di pelaminan. Hehehe

“kriing” dering handphone ku membuyarkan lamunan ku lagi.
Message from bapak: “kok cuma di baca nduk, gimana mau ga kamu di lamar sama dia? Dia orang baik banget, tanggung jawab insyaallah” dan aku hanya tersenyum kecil.

Lalu kembali ku buka tumpukan chatting dari para pujangga yg menawarkan diri untuk menikahi ku. 😄
Kalau tiba-tiba ada laki-laki yg ga kamu kenal menawarkan diri untuk jadi imam kamu, jangan langsung di terima. Biasanya calon makmum nya banyak 😄✌

Dan begitulah, tak ada yang tau bagaimana jalan hidup kita kelak. Selain hanya bisa menikmati atas apa yg Tuhan beri.

Teman Tangis Kesetiaan

Nana Chyintia / Teman Tangis Kesetiaan / Tidak ada / tenaga kerja asing Teman Tangis kesetiaan Oleh: Nana_Chyintia Ini kedua kalinya aku datang ke Taiwan. Baru dua bulan yang lalu aku meninggalkan Taiwan dan sekarang aku sudah berada di sini lagi.. Udara pagi ini membuat aku menggigil sepertinya musim dingin belum berlalu, semilir angin menembus jacket berlapis-lapis yang … Continue reading “Teman Tangis Kesetiaan”

Nana Chyintia / Teman Tangis Kesetiaan / Tidak ada / tenaga kerja asing

Teman Tangis kesetiaan
Oleh: Nana_Chyintia

Ini kedua kalinya aku datang ke Taiwan. Baru dua bulan yang lalu aku meninggalkan Taiwan dan sekarang aku sudah berada di sini lagi..

Udara pagi ini membuat aku menggigil sepertinya musim dingin belum berlalu, semilir angin menembus jacket berlapis-lapis yang membungkus tubuhku.

Setelah menunggu beberapa jam, agency membawaku kerumah majikan

“apa kamu takut?” tanya penerjemah saat mengemudi mobil

Aku diam, tidak menjawab pertanyaan itu.

Kulangkahkan kaki keluar dari mobil sedan yang sudah berhenti di depan rumah, tidak cukup besar tapi berlantai dua. Rumah yang ada dihadapanku saat ini bukanlah rumah mewah yang selama ini aku bayangkan melainkan rumah yang berada di tengah persawahan jauh dari kota.

“ini adalah majikanmu, sapalah mereka” penerjemah menunjukkan majikanku.

“tajia hao?” *sapaku kepada mereka seraya menundukkan kepala, mereka membalas menundukkan kepala.

Entah kenapa hati ini gundah, hati ini mengatakan “AKU TIDAK INGIN DI SINI!!!”

Setelah Penerjemah mengajariku beberapa cara mengurus pasien yang aku jaga, dia memanggilku untuk duduk bersama majikan. tiba-tiba air mata menetes terlihat jelas mengaliri pipi cubbyku ini, entah karena apa aku menangis yang pasti aku belum siap dengan keadaan sekitar rumah ini. Sepertinya mereka merasakan keresahanku.

“jangan menangis, kasihan nyonya kamu ikut menangis juga.” melirik ke majikan yang ikut mengusap air matanya

Pasien yang aku jaga masih muda sekitar umur 52 tahun seusia ibuku, aku memanggilnya dengan sebutan mami. Mami mengalami kecelakaan 8 bulan sebelum kedatanganku, dia mengalami patah tulang pada kaki dan harus terapi 3 kali dalam seminggu.
***

Hari berlalu begitu cepat, satu tahun sudah aku merawatnya kesehatan mami semakin membaik dia sudah mulai berjalan tanpa menggunakan tongkat. Setelah kesehatan mami membaik aku kira pekerjaan akan terasa ringan karena tidak harus memapahnya. Tetapi perkiraanku salah pekerjaanku justru semakin sibuk.

Mereka tinggal bersama mertua mami, masih ada nenek dan kakek. Akhir-akhir ini kesehatan nenek semakin memburuk, setelah beberapa kali jatuh sakit dan dirawat inap. Nenek mulai tidak kuat memopang badannya sendiri, sekarang hanya bisa menghabiskan waktunya berbaring di ranjang.

Setiap 40 menit sekali, pasti jeritan nenek terdengar sampai lantai atas “Wa ai gi pang nio.” **cepat-cepatlah aku berlari menghampirinya.

Awal aku datang nenek bisa berjalan, walau memakai tongkat. Mulai dari kesehatan nenek yang tidak bagus lagi, kini pekerjaanku menjadi bertambah, selain menjaga mami aku juga menjaga nenek.

Pindah majikan sempat terbesit di fikiranku. Menjaga dua orang sekaligus bukanlah hal yang mudah, ketika aku sedang memandikan mami pada saat bersamaan nenek memanggilku mau buang air kecil, terpaksa aku harus lari menghampiri nenek membantunya berdiri. Selain mengurusi mereka aku juga harus mengurus pekerjaan rumah, dari berbelanja ke pasar, sampai hal sekecil apapun di rumah itu aku yang mengerjakan.

“sepertinya kita akan pulang telat” mami melirik jam tangannya “sudah jam 12:00 dokter belum memulai acupuncture” ***
setiap hari senin dan kamis mami melakukan terapi dan acupuncture kami pasti pulang telat, tidak hanya telat saja tapi pekerjaan juga menumpuk. jam 12:00 lebih kami pulang, sesampainya di rumah aku harus memasak makan siang terkadang sampai pukul 14:00 kita baru makan. Mami tidak pernah memikirkan untuk membeli makanan kotak, yang selalu beralasan makan seadanya saja.

Tetapi, mereka tidak pernah memarahiku ketika aku salah mengerjakan sesuatu. Bahkan mereka sabar dengan sifatku yang terkadang mudah tersinggung dan berbicara dengan nada keras. Aku juga begitu, aku mudah melupakan sesuatu yang membuat aku sakit hati. Itulah kecocokan kami.

Setelah aku berfikir ulang tentang kebaikan mereka terhadapku yang sudah menganggapku seperti anaknya sendiri, aku urungkan lagi niatku untuk pindah majikan. Aku memilih pekerjaan berat asal mereka baik terhadapku. Memiliki persamaan, dalam sebuah hubungan pekerjaan adalah hal penting untuk menyatukan sifat-sifat individu yang berbeda. Apalagi aku hanyalah seorang perawat lansia di sini, apa yang bisa aku andalkan kalau bukan ketrampilanku untuk mereka.
***

Sering kali aku mendengar isak tangis di pertengahan malam. dia menangis tersendu-sendu, mungkin dia tidak tau akan mengadu dengan siapa,sakit yang dia rasakan tidak hanya sakit pada tulang saja dia juga merasa tidak berguna, sampai pernah dia berkata “Kenapa aku tidak mati saja”.
Mengadu dengan suaminya pasti akan menambah beban, karena hanya suaminya lah tulang punggung di keluarga ini. Di balik selimut aku pun turut merasakan kesedihannya, betapa sedih hatinya melihat tetesan keringat di badan suami yang semakin kurus itu. Papi, ya … Aku memanggilnya dengan sebutan papi. Papi hanyalah pekerja bangunan, gajinya hanya cukup untuk memopang kehidupan kami. Dari situlah kesetiaanku kekeluarga mereka, aku tidak meminta tambah gaji karena aku tahu perjuangan papi sangatlah sulit.

“Ma … Mama … Ma … “ suara papi membangunkan nenek beberapa kali yang tak kunjung bangun.

Tiba-tiba suara papi hilang

“hoy … melamun aja.” haaah … aku kaget sampai berdiri dari kursi tempat dudukku “noh, es cream kamu meleleh’’ tegur temanku mencubit pipiku

“hehehee ….” aku tertawa lirih.

“Kamu kenapa? Melamun dari tadi.” tanyanya ulang

“hmm … Nggak ada apa-apa kok” jawabku tersenyum meliriknya

“Nana dipanggil boss suruh ke kantornya” sahut teman satu ruanganku, yang baru saja keluar dari ruangan boss

Aku hanya membalas dengan senyuman.
***
Sekarang aku bekerja di kantor pabrik kakak kedua mami yang didirikan di Indonesia, di kota Bandung. Mereka (mami dan papi) pindah ke Indonesia, bukan untuk menetap tapi entah sampai kapan. Aku dipekerjakan sebagai penerjemah sekaligus sekertaris untuknya.

Dulu sewaktu aku libur, aku pergunakan waktuku untuk belajar. Aku mengambil sekolah juga mengambil kursus bahasa mandarin. Di tengah-tengah kesibukanku mengurus mereka, aku masih menyempatkan diri untuk belajar sampai larut malam,terkadang waktu istirahatku tersita untuk belajar. Aku tidak pernah berhenti berharap bahwa keadaan pasti akan bisa berubah jika kita mau berusaha. Mereka sangat mendukungku sampai akhirnya aku mendapatkan pekerjaan di Negeriku sendiri Indonesia.

Kesibukanku yang sekarang juga membutuhkan ketrampilan, sama seperti kesibukanku yang dulu yang membutuhkan kesabaran. Sekarang nenek dan kakek di rawat oleh adik papi, yang tinggal tidak jauh dari rumah papi yang dulu.

Dalam pertengahan malam, kini aku tidak lagi mendengar tangisan sendu dari balik selimut. Yang aku dengar adalah senyuman bahagia dari mereka, yang dapat aku lihat setiap kali aku duduk bersama mereka menikmati secangkir kopi.

Chiayi, 26-maret-2016.

*tajia hao= apa kabar semua?
** wa ai gi pang nio= saya ingin pergi buang air kecil.
*** acupuncture= pengobatan atau terapi yang menggunakan jarum, sering disebut dengan tusuk jarum(akupuntur)